Catatan: Hukum Kesusilaan

Pada tanggal 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi (judicial review) tiga pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kesusilaan. Hal ini bisa dipahami sebagai tonggak sejarah di tanah air dimana perjuangan memasukkan kesusilaan sebagai hukum positif mengalami kegagalan.

Catatan ini dibuat untuk merekam berbagai polemik yang terjadi di tanah air mengenai tarik menarik kepentingan apakah kesusilaan dimasukkan ke dalam hukum positif (menjadi urusan negara) atau menjadi urusan privat/urusan agama (bukan urusan negara).

GUGATAN UJI MATERI MK

Perilaku LGBT akan Diusulkan Masuk Delik Hukum Pidana. (Republika. 12 Pebruari 2016)
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) berencana mengajukan judicial review terhadap Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) agar perilaku hubungan seksual sesama jenis Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) diusulkan masuk dalam delik pidana kesusilaan.

Menggugat Hukum Kesusilaan. (Republika. 14 September 2016)
Sidang gugatan terhadap Pasal 282, 285, dan 292 KUHP sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir. Pemohon yang terdiri atas sejumlah wanita tokoh masyarakat ini ingin memperluas hukuman terkait pasal-pasal kesusilaan. Republika menyarikan sidang yang sudah berjalan tersebut melalui dua edisi tulisan. Tulisan ini merupakan bagian pertama.

AILA Gelar Seminar Kebangsaan Reformulasi KUHP Delik Kesusilaan. (hidayatullah.com. 26 September 2016)
AILA mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung setiap upaya dalam memperkuat ketahanan keluarga yang sesuai dengan jati diri bangsa.

Ahli Agama Soal Perluasan Delik Asusila: Tidak Perlu Diurus Negara. (Detik. 28 November 2016)
Koalisi Perempuan menghadirkan ahli akademisi dari bidang studi agama dari Universitas Paramadina. Budhy Munawar Rachman yang dalam paparannya mengangkat konsep ketahanan keluarga dalam Islam dan institusi keluarga di dalam agama islam mencegah atau menyelesaikan kasus perzinaan, pencabulan dan orientasi seksual sejenis.

MK Tolak Pemidanaan LGBT dan Hubungan di Luar Nikah. (Solopos. 14 Desember 2017)
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi (judicial review) tiga pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kesusilaan. Ketiganya adalah pasal 284 tentang perzinaan, pasal 285 tentang perkosaan, dan pasal 292 tentang pencabulan.

Penolakan Soal LGBT, Ini Tanggapan ICJR. (Republika. Kamis, 14 Desember 2017)
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono mengapresiasi penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial review perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 soal LGBT.

Ini Perbedaan Pendapat 4 Hakim Konstitusi Soal Putusan Pasal Kesusilaan. (Republika. 16 Desember 2017)
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-XIV/2016 terkait uji materi Pasal Kesusilaan terdapat perbedaan pendapat di antara para hakim. Ada empat dari sembilan hakim konstitusi yang berpandangan berbeda meskipun pada akhirnya diputuskan MK menolak permohonan uji materi pasal tersebut.

MK Tolak Perluasan Pasal Perzinahan, Aktivis LGBT Semringah. (JawaPos. 14 Desember 2017)
Aktivis Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) menyambut baik langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perluasan pasal perzinahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasalnya, para aktivis itu menganggap bahwa pengajuan uji material ini sebagai upaya sekelompok masyarakat yang akan membuat kehidupan pribadi jadi urusan publik. Karenanya dapat mengkriminalisasi LGBT dan seks di luar nikah.

Tolak Gugatan LGBT Bisa Dipidana, DPR Kecewa Putusan MK. (JawaPos. 14 Desember 2017)
Aggota Komisi III DPR Nasir Djamil kecewa dengan putusan MK tersebut. Sebab perzinahan dan LGBT sebagai bentuk inkonsistensi dan ancaman yang berbahaya bagi Indonesia, sebagai negara berketuhanan berdasarkan Pancasila.

Ditolak MK, Guru Besar IPB Khawatir LGBT Makin Meluas. (JawaPos. Kamis, 14 Desember 2017)
Euis Sunarti, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) mengaku kecewa atas putusan dari majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan pasal 284, 285, dan 292 KUHP tentang perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan anak. Penolakan atas tiga pasal itu membuat komunitas LGBT begitu mudah menyebarkan perilaku seks yang menyimpang.

10 Alasan Ketua MK Setuju LGBT dan Pelaku Kumpul Kebo Dipidana. (Detik. 18 Desember 2017)
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan tiga hakim konstitusi lainnya setuju agar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pelaku kumpul kebo dipidana. Adapun lima hakim konstitusi lainnya menyerahkan hal itu ke DPR-pemerintah.

MK: Kami Tidak Melegalkan LGBT! (Detik. 18 Desember 2017)
Mahkamah Konstitusi menampik seluruh rumor yang menyatakan lembaganya melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). MK menegaskan seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon.

Ada US$180 Juta dari LGBT, Mahfud: Aktivis Jangan Kecolongan. (Viva. 20 Desember 2017)
Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengemukakan praktik lesbian, gay, biseksual, dan transgender, atau LGBT, serta zina jelas dilarang di Indonesia. Hal itu pun bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Tanah Air.

KESUSILAAN DALAM KONSTITUSI BARU NKRI

Sangat bisa dipahami kenapa delik kesusilaan gagal dalam uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Tugas MK adalah menguji kesesuaian antara UUD dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena UUD tidak mengatur urusan kesusilaan, maka pembuat peraturan perundang-undangan dapat dengan bebas menafsirkan mengenai hal ini, sekalipun penafsiran itu secara hakekat bertentangan dengan Pancasila.

Dalam usulan Konstitusi Baru NKRI, Pancasila sebagai dasar negara diturunkan ke dalam suatu Pedoman Ketatanegaraan Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pedoman Ketatanegaraan itu berisi prinsip-prinsip dalam pembuatan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Kemudian untuk mengatur Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dibuatlah Undang-Undang Dasar baru yang dijiwai oleh Pancasila dan Pedoman Ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang Dasar baru ini memiliki rincian yang memadai sehingga lebih kokoh dan meminimalkan kemungkinan adanya penyelewengan arah kebijakannya di peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Selanjutnya, Pancasila, Pedoman Ketatanegaraan, dan Undang-Undang Dasar ini kita tetapkan sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia; yang artinya semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Wilayah Negara Republik Indonesia tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu.

Berikut ini beberapa Konsep UUD (baru) yang berkenaan dengan Kesusilaan:

Negara Moral dan Hukum
Negara adalah ibarat perahu, dan bangsa adalah para penumpangnya. Segala perilaku yang melanggar hukum dan moralitas adalah seperti membuat lubang kebocoran pada perahu itu, dan karenanya membahayakan seluruh penumpangnya. Itulah sebabnya hukum dan moralitas harus ditegakkan dan pelanggarnya mendapatkan peringatan atau hukuman.

Norma Kesusilaan & Kesopanan
Dalam sebuah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara yang mengedepankan nilai-nilai moral dan hukum, kita perlu memberikan negara kewenangan untuk melakukan tindakan hukum atas pelanggaran norma kesopanan dan kesusilaan yang melampai batas-batas kemanusiaan dan kewajaran.

Perzinahan
Perzinahan adalah adalah segala bentuk hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria dengan wanita, pria dengan pria, wanita dengan wanita, pesta sex, dan manusia dengan binatang. Perzinahan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelacuran
Pelacuran adalah hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria dan wanita, baik yang dilakukan di hotel, restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa. Pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.