10 Alasan Ketua MK Setuju LGBT dan Pelaku Kumpul Kebo Dipidana

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan tiga hakim konstitusi lainnya setuju agar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pelaku kumpul kebo dipidana. Adapun lima hakim konstitusi lainnya menyerahkan hal itu ke DPR-pemerintah.

Berikut sepuluh pertimbangan Arief yang diamini oleh 3 hakim konstitusi lainnya, yaitu Wakil Ketua MK Anwar Usman, hakim konstitusi Wahidudin Adams, dan hakim konstitusi Aswanto, sebagaimana dikutip dari putusan MK, Senin (18/12/2017):

1. Pancasila Sebagai Sumber Hukum

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2. Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai Ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah, dan hukum Tuhan.

Berikutnya, dalam bacaan Pancasila juga, prinsip ketuhanan diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak kebangsaan Indonesia. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa.

3. Nilai Ketuhanan yang Berkebudayaan dan Berkeadaban

Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila merupakan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Artinya, nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama dan kepercayaan bangsa yang bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan ketuhanan lapang, dan toleran yang memberi semangat kegotongroyongan dalam etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sila Ketuhanan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan permusyawaratan dan keadilan sosial.

4. Ketuhanan dalam Keragaman Agama dan Keyakinan

Ketuhanan Yang Maha Esa bukan merupakan prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama, melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara di tengah masyarakat dengan keragaman agama dan keyakinan. The Founding Fathers tidak memaknai sila Ketuhanan dalam makna yang terlalu teologis dan filosofis. Ia tidak ditampilkan sebagai konsep ilahiah menurut klaim agama dan filsafat tertentu.

Ketuhanan dimaknai dalam konteks kehidupan praksis, suatu kehidupan yang dicirikan dengan bagaimana nilai-nilai ketuhanan itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bersikap adil terhadap sesama, berkata dan bertindak jujur, dan menyambung silaturahmi, sehingga perpecahan di antara sesama dapat dihindari. Dari nilai-nilai demikian itulah, negara memperoleh fundamennya.

5. Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 disebutkan salah satu hak konstitusional setiap orang adalah “kepastian hukum yang adil”, bukan kepastian hukum semata. Sehingga jika terdapat suatu kepastian hukum dalam bentuk norma UU yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta nilai agama dan living law yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, kepastian hukum tersebut bukanlah kepastian hukum yang adil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sama sekali tidak boleh diserahkan sebagai open legal policy dari pembentuk UU.

6. HAM yang Terbatas

HAM dalam UUD 1945 sejatinya tidaklah menegasikan hak dan kebebasan manusia. Manusia tetap mendapat jaminan konstitusional untuk menjalankan hak dan kebebasannya sebagaimana yang diatur dalam BAB XA UUD 1945 mengenai Hak Asasi Manusia.

Namun Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

7. Konstitusional Religius

Dalam konteks Pasal 28J ayat 2 inilah UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution). Sehingga terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi oleh konstitusi sebagai salah satu rambu atau pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang.

Sehingga manakala terdapat norma undang-undang yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama maka norma undang-undang itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan.

Elaborasi jati diri dan identitas UUD 1945 sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) sekaligus hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya senantiasa tecermin dalam frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” pada setiap bagian awal peraturan perundang-undangan serta dalam setiap irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada suatu putusan pengadilan. Hal ini merefleksikan bahwa setiap kepastian hukum di Indonesia, baik dalam bentuk norma peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang) maupun putusan pengadilan, harus senantiasa disinari oleh nilai agama dan sinar Ketuhanan.

Sehingga sistem hukum di Indonesia (termasuk hukum pidana) sama sekali tidak boleh memberikan atau membiarkan adanya eksistensi norma hukum yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan.

8. MK Penjaga Sinar Ketuhanan agar Tetap Menyala

MK, yang diberi tugas dan kewenangan oleh UUD 1945 sebagai the sole interpreter and the guardian of the constitution, bahkan sebagai the guardian of the state ideology, juga memiliki kewajiban konstitusional untuk senantiasa menjaga agar norma undang-undang tidak mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan.

Hal itu mengingat putusan Mahkamah juga senantiasa diawali dengan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta mengingat sumpah/janji jabatan tiap-tiap hakim konstitusi yang juga senantiasa diawali dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang antara lain muncul dalam frasa “Demi Allah”, “Demi Tuhan”, “Om Atah Paramawisesa” serta diakhiri pula dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang antara lain muncul dalam frasa “kiranya Tuhan Menolong Saya” atau “Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om”.

9. Kumpul Kebo Bertentangan dengan Living Law

Eksistensi kepastian hukum yang ada dalam norma Pasal 284 KUHP jelas bersifat tidak adil, baik secara sosiologis-historis maupun dalam konteks kekinian, sebab filosofi dan paradigma yang menjiwai norma Pasal 284 KUHP jelas mempersempit dan bahkan bertentangan dengan konsep ‘persetubuhan terlarang’ menurut berbagai nilai agama dan living law masyarakat di Indonesia yang oleh konstitusi diakui sebagai salah satu rambu atau pedoman utama dalam setiap pembentukan norma hukum guna menjamin kepastian hukum yang adil.

Selain itu, rumusan dan keberlakuan Pasal 284 KUHP juga menyebabkan terjadinya segregasi penduduk sebagai bagian dari politik kolonial berdasarkan status perkawinan, jenis kelamin, dan golongan penduduk, khususnya dalam frasa “telah kawin” dan frasa “Pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya” sebagaimana yang diuraikan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1980 sehingga jelas juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

10. Sumber KUHP Adalah Budaya Penjajah Belanda

Secara historis, pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo jelas merupakan ‘kemenangan’ kaum homoseksual dan sebagian anggota Tweede Kamer Belanda yang memang afirmatif terhadap praktik homoseksualitas.

Padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela menurut hukum agama dan sinar ketuhanan serta nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) sehingga kami berpendapat bahwa kata “dewasa”, frasa “yang belum dewasa”, dan frasa “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun pendapat Arief dkk kalah suara dengan lima hakim konstitusi yang tetap dengan KUHP saat ini. Kelima hakim konstitusi itu adalah:

1. Saldi Isra.
2. Maria Farida Indarti.
3. I Dewa Gede Palguna.
4. Manahan Sitompul.
5. Suhartoyo.

Kelimanya setuju kriminalisasi LGBT dan kumpul kebo diserahkan ke DPR-pemerintah.
(asp/rvk)

Detik. 18 Desember 2017
Foto: Ketua MK Prof Dr Arief Hidayat (Ari/detikcom)