Teriakan kembali ke UUD 1945 naskah awal menyeruak di ruang publik. Pertanyaannya; jika kembali ke UUD 1945 apakah menjamin bahwa semua kondisi buruk menghilang dari bumi Indonesia? Atau justru sebaliknya, malah memperburuk?
Seorang Thomas Jefferson, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat pernah berujar dalam sebuah surat ketika berkorespondensi dengan seorang pengacara Samuel Kercheval (kadang menggunakan nama pena H. Tompkinson), 12 Juli, 1816;
“I am not an advocate for frequent changes in laws and Constitutions. But laws and institutions must go hand in hand with the progress of the human mind. As that becomes more developed, more enlightened, as new discoveries are made, new truths discovered and manners and opinions change, with the change of circumstances, institutions must advance also to keep pace with the times. We might as well require a man to wear still the coat which fitted him when a boy as civilized society to remain ever under the regimen of their barbarous ancestors.”
Lantas bagaimana dengan sikap founding father Indonesia terhadap konstitusi negara?
Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara. Dalam aturan tambahan dinyatakan perlunya Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Namun Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud itu tidak pernah bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD). Perjalanan sejarah bangsa justru bergerak ke arah lain. Pecahnya perang kemerdekaan disusul lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) telah membuat kita tak pernah sempat menetapkan UUD melalui sidang MPR, apalagi melaksanakannya. Yang pernah dilaksanakan—meski sebentar—justru UUD Sementara dan Konstitusi RIS.
Sesudah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya Dewan Konstituante melalui Pemilu 1955, UUD yang berlaku adalah UUD Sementara. Waktu itu Bung Karno ‘bersabda’, “Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapeta.” Demokrasi liberal, dinilainya sebagai demokrasi dengan politik rongrong-merongrong, rebut merebut, jegal menjegal dan fitnah memfitnah.
Pada 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali kepada UUD 1945, tapi Bung Karno sesungguhnya justru melanggar. Salah satunya adalah dengan menerima pengangkatan sebagai presiden seumur hidup. Hal serupa terjadi pada era Orde Baru. Pak Harto memang tak pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup. Namun, pelaksanaan UUD 1945 pra-amandemen secara murni dan konsekuen tak pernah sungguh-sungguh dijalankan. Yang berlangsung hanya bersifat pro-formal dan prosedural, tidak secara substansial.
Sejumlah tokoh nasional sepakat menyerukan ketatanegaraan kembali ke konstitusi proklamasi UUD 1945. Kesepakatan itu tertuang dalam penandatanganan deklarasi bersama hasil seminar kebangsaan yang berlangsung di Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat, 27 Februari 2014. Di antara mereka ada putri mendiang Bung Karno sendiri, Rachmawati Soekarno Putri. Bahkan menjelang pilpres 2014, kubu Prabowo-Hatta mendengungkan wacana kembali ke UUD 1945 naskah awal. Mereka menyebutnya UUD 1945 ‘yang asli’. Lalu UUD 1945 yang telah diamandemen memangnya tidak asli? Ini merupakan contoh permainan semiotik belaka.
Kemudian di 2015 lalu puluhan tokoh nasional bersama dengan sejumlah aktivis mahasiswa lintas kampus berkumpul di Gedung Joang 45. Kehadiran mereka untuk membahas perjalanan bangsa Indonesia selama 70 tahun Indonesia merdeka. Momentum tersebut juga digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dalam rembug nasional itu semua peserta dan juga tokoh nasional sepakat jika kondisi Indonesia dari hari ke hari semakin buruk. Kondisi bangsa Indonesia semakin buruk karena terjadinya Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali sejak era reformasi. Sejumlah tokoh nasional juga berpendapat persoalan bangsa Indonesia bisa diurai hanya dengan mengembalikan UUD 1945 yang murni dan konsekuen. Benarkah demikian?
Pasalnya, pascreformasi yang melahirkan empat kali amandemen UUD 1945 telah menimbulkan banyak prasangka. Amandemen tersebut dianggap bukan proses melengkapi UUD 1945 itu agar senapas dengan kemajuan jaman, tapi justru upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala pondasi UUD 1945 yang berbau anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan rakyat.Pengaturan ekonomi oleh negara dihilangkan: liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi. Model pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya nasional pun berorientasi mendatangkan investasi dari luar negeri. Amandemen justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neo-kolonialisme. Sebagai respon atas berbagai problematika bangsa itu, muncullah keinginan untuk kembali kepada semangat UUD 1945 sebelum diamandemen.
Namun yang namanya neo-kolonialisme dan kapitalisme, telah masuk ke Indonesia bukan semata sejak reformasi. Jika neoliberalisme, kolonialisme, dan kapitalisme, disematkan kepada Amerika, IMF, Bank Dunia, dan kawan-kawannya, mereka sudah bercokol di Indonesia sejak kepemimpinan Soeharto. Waktu itu belum ada amandemen UUD 1945. Misalnya, ketika tahun 1967, ketika Soekarno masih berkuasa walau sudah dipreteli wewenangnya oleh Soeharto. Freeport masuk ke Indonesia melalui perantara Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo.
Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka. Sebagai bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967. Maka Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS. Pengapalan pertama pada bulan Desember berjumlah 10.000 ton.
Melihat fakta ini, apakah hegemoni Amerika di Indonesia cukup ditanggulangi dengan kembali ke naskah asli UUD ’45?
Saat ini ada tiga keinginan soal tata ulang negara; yaitu kembali ke naskah asli UUD 1945, melanjutkan yang sudah ada sekarang sambil menyingkronkan dengan UU yang ada, dan melakukan amandemen kelima UUD 1945. Adapun kembali ke UUD ’45 bukanlah jawaban pasti. Dari pengalaman sejarah tampak bahwa yang terpenting adalah bagaimana sosok pemimpin bangsa ini dan kebijakan-kebijakannya, apakah bermental jongos atau tidak.
Dari segi konseptual, mendiang Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa UUD 1945 memiliki kelemahan atau cacat konseptual bagi pegangan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 juga memiliki kelemahan mendasar lain, yaitu dalam konstruksi hukumnya tidak mengindahkan pembatasan kekuasaan dengan pembagian ketiga cabang kekuasaan berdasarkan teori Montesqieu (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan juga tidak cukup memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kondisi ini melahirkan kekuasaan absolut di tangan Presiden, tanpa ada checks and balances dari cabang kekuasaan lainnya, sehingga menimbulkan banyak peluang bagi terjadinya abuse of power dan penindasan hak asasi manusia.
Demokrasi Konstitusional berarti rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan, menegakkan supremasi hukum, pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politika), pertanggungjawaban pemerintahan pada rakyat (public accountability), dan dihormatinya hak asasi manusia. Demokratisasi di Indonesia harus berlangsung pada dua dataran sekaligus, yaitu dataran konseptual dan dataran praktis agar tidak tambal sulam. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu dibentuk Komisi Konstitusi guna merancang draf komprehensif amandemen UUD 1945 yang baru atau sama sekali merancang UUD baru dengan struktur dan sistematika yang lebih baik yang tegas dan jelas mengacu kepada konsep negara.
Ketika kita kembali ke UUD 1945 dengan asumsi kembali ke titik awal lagi, tetap saja nantinya mau tidak mau akan ada amandemen juga. Persoalannya apakah dalam amandemen itu akan benar-benar digali setiap kata dan pasal secara hati-hati, atau akan menghasilkan amandemen yang sama seperti empat amandemen pascareformasi. Sekarang mari kita balik posisinya; bagaimana jika kita berprasangka pada pihak-pihak yang ingin kembali ke naskah asli UUD ’45, sebenarnya motif apa yang mendasari mereka selain ‘motif panggung’ pro-kesejahteraan rakyat? Barangkali ingin melanggengkan kekuasaan pribadi dan kroni-kroninya, meneruskan rezim lawas, atau merayakan kembali trah mereka sebagai kalangan priyayi keturunan founding father bangsa ini. Atau sekadar luapan sikap defeatisme sebagian kalangan. Lagi-lagi ada mental yang harus direvolusi.
Sumber: kupretist.wordpress.com.