Membasmi Hama dengan Sistem Refugia

Sucipto, Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki II, tenang-tenang saja ketika salah seorang anggotanya melapor ada sepetak padi rebah akibat wereng cokelat. Ia lantas mendiskusikan kasus yang terjadi enam pekan lalu itu dalam diskusi mingguan. Inti diskusi, semua anggota sepakat tak menyemprotkan pestisida. "Kami sepakat diikat saja dulu supaya berdiri," kata Sucipto, Selasa lalu.

Sepekan kemudian, Sucipto mendapat kabar baik. Petak padi yang rebah itu kini terbebas dari hama, terutama wereng cokelat. "Masih bisa dipanen, bulirnya penuh," kata dia. Wereng cokelat yang mengganggu itu ternyata habis dimangsa oleh predator mereka: capung, laba-laba, dan tomcat.

Dari mana datangnya predator itu? Ternyata, dalam dua musim tanam sebelumnya, kelompok tani di Desa Pliken, Banyumas, ini menanam bunga di sekeliling petak sawah mereka. Bunga-bunga tersebut berfungsi sebagai rumah serangga pemangsa hama di sawah itu.

Penanaman bunga di sekeliling petak sawah merupakan rekayasa ekosistem yang disebut refugia, yakni intervensi ekosistem dengan menyediakan rumah untuk pemangsa hama. Penanamannya segera dilakukan setelah padi ditanam.

Tanaman yang berfungsi sebagai refugia bisa bermacam-macam, antara lain bunga pukul empat, bunga kenikir, dan bunga matahari. Tanaman tersebut bisa menjadi rumah bagi capung, lebah, kupu-kupu, laba-laba, dan tomcat.

Food and Agriculture Organization (FAO) memperkenalkan rekayasa ekosistem dengan refugia sejak Oktober 2014 dalam program pengelolaan hama terpadu (PHT). FAO memberikan bantuan dan pendampingan untuk tiga musim tanam.

Pada musim tanam pertama, FAO menerapkan PHT dengan luasan hanya 1.000 meter persegi. Hasilnya, positif. FAO lantas melanjutkan program ini ke PHT seluas 25 hektare. Dalam tahapan ini Kelompok Tani Sumber Rejeki I dan IV ikut terlibat dan luasan sawah yang digunakan menjadi 75 hektare.

Sistem refugia semakin mantap karena disertai dengan pengenalan rekayasa sosial dan penggunaan agen hayati. Rekayasa sosial dilakukan dengan sistem penanaman serempak, yaitu menanam padi dalam waktu bersamaan. Sistem ini mempermudah petani membasmi hama. Sebab, pasokan makanan bagi hama terputus.

Program PHT lanskap 25 hektare juga mengedukasi petani akan pentingnya pengamatan. Kelompok Tani Sumber Rejeki II terdiri atas 25 orang. Setiap 5 orang bertanggung jawab mengamati 5 hektare setiap pekannya. "Kami langsung berdiskusi setelah pengamatan," kata Sucipto.

Dalam diskusi, setiap kelompok mempresentasikan hasil pengamatannya. Kelompok lain bebas untuk bertanya. "Jadi, kalau ada masalah, bisa langsung dipikirkan solusinya," kata dia.

Petani juga diperkenalkan pada agen hayati, yakni penyubur organik tanaman dan tanah. Kelompok Tani Sumber Rejeki II telah memproduksi, bahkan menjual, agen hayati ke kelompok tani lain.

Halaman belakang rumah Sucipto, misalnya, menjadi "laboratorium" tempat produksi agen hayati. Di ruang 3 x 4 meter itu terlihat slang-slang menghubungkan beberapa jeriken ke satu galon. Dalam galon tersebut terdapat biang corynebacterium.

Bakteri ini kemudian dicampur dengan berbagai bahan, seperti kentang dan gula, untuk difermentasi. Coryne berfungsi mencegah tanaman terkena penyakit hawar daun bakteri (kresek), bakteri daun bergaris, bacterial red stripe, blas, dan cercospora pada tanaman padi.

Ada pula agen hayati rhizobacteri yang menghasilkan plan growth-promoting rhizobacteri. Kedua jenis agen hayati ini dijual dengan harga Rp 20-22 ribu per liter. Mereka juga memproduksi pupuk organik cair berbahan dasar air seni kambing dan kelinci yang diendapkan beberapa hari sebelum dipakai sebagai pupuk.

Sistem yang diperkenalkan FAO ini juga menghemat biaya tanam dan menambah hasil produksi. Sucipto mengatakan, sebelum menggunakan PHT, pada 2011-2012 hasil produksi maksimal per hektare 6-6,5 ton.

Sedangkan sejak menggunakan PHT pada Oktober 2014, hasil produksi mencapai 7,43 ton per hektare. Jumlah hasil produksi terus meningkat pada musim tanam selanjutnya, yakni 7,67 ton dan 7,83 ton per hektare.

Menurut Sucipto, bukan hanya kuantitas beras Desa Pliken yang bertambah, kualitasnya juga ikut meningkat. "Karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia berkurang drastis," kata dia.

Penurunan penggunaan pestisida dan peningkatan bio diversity memang menjadi tujuan program PHT. Ketua Tim Ahli FAO, Y. Andi Trisyono, mengatakan refugia meningkatkan kebugaran pemangsa hama padi. Laba-laba bisa menghabiskan 20-30 wereng cokelat per hari dalam satu rumpun padi.

Selain predator pemangsa hama, refugia menjadi rumah untuk parasitoid, yakni serangga yang hidup menumpang pada serangga lain. Dengan refugia, parasitoid bisa membunuh 20-30 persen telur wereng cokelat.

TRI ARTINING PUTRI
Tempo. 28 Maret 2016
Sumber: tempo.co