Populisme Hantu Demokrasi

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika lewat pembengkakan konservatisme ras kulit putih dan sentimen kebencian terhadap minoritas, atau permainan isu-isu etnis dan agama di Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2014 dan pilgub DKI 2017, sering disebut-sebut sebagai simptom kebangkitan populisme. Lewat beberapa fakta itu, sekurang-kurangnya kita menyaksikan populisme telah memasuki kontestasi politik baik pada tataran global, nasional maupun lokal.

Populisme, menyitir Ernesto Laclau dalam Politics and Ideology in Marxist Theory, adalah sebuah konsep yang sukar dipahami dan membingungkan (Laclau, 1977: 143). Secara intuitif kita bisa membaptis sebuah ideologi, gerakan, kejadian, kampanye dan iklan politik sebagai “populis”, tapi terganjal kesulitan saat menerjemahkan intuisi itu ke dalam sebuah konsep.

Margerth Canovan (1999:3) pernah menyebut populisme sebagai “suatu bayangan yang dicetak demokrasi itu sendiri”. Populisme lahir dari krisis demokrasi.

Benjamn Arditi (2004:141) tak setuju dengan Canovan. Arditi melihat populisme sebagai a spectre of democracy (hantu demokrasi) ketimbang bayangan demokrasi.

Pandangan Arditi mengingatkan kita akan seruan terkenal Marx dan Engel, yang juga dipakai Ghita Ionescu dan Ernest Gellner untuk membuka karya klasik mereka tentang populisme (1969:1): A spectre is haunting the world-populism (Seekor hantu sedang mengancam dunia, populisme namanya).

Terlepas dari polemik itu, ada dua fakta tak terbantahkan. Pertama, populisme terkait erat dengan demokrasi. Kedua, populisme membuktikan dirinya lebih dinamis, fleksibel dan berhasil ketimbang apa yang dipikirkan banyak orang. Dari pengalaman Eropa abad ke-21, atas nama rakyat (people), spectre (hantu) populisme ini terus menakut-nakuti the sceptre (kekuasaan) yang opresif dan menindas rakyat yang lemah.

Kalau begitu, apakah populisme itu hantu demokrasi? Ataukah seekor hantu yang mengintai kekuasaan tak adil demi melindungi rakyat tertindas sehingga dalam hal ini dia sesungguhnya adalah bentuk tertinggi demokrasi?

Memahami Populisme: Pembacaan Simptomatik

Populisme adalah sebuah topik yang luas. Di Indonesia, topik ini terbilang baru dalam kajian ilmiah meskipun ada banyak kejadian politik di tanah air yang secara intuitif bisa disebut sebagai simptom kebangkitan populisme.

Term “populisme” berasal dari bahasa Latin, populus yang berarti rakyat. Menurut F.B. Hardiman, populisme berbeda secara tajam dari demokrasi, meskipun populus dan demos sama-sama berarti rakyat. Sementara dalam demokrasi, rakyat adalah para warga negara, pekerja, asosiasi-asosiasi, partai-partai, dan seterusnya atau demos, rakyat dalam populisme adalah massa tak terdiferensiasi (Kompas, 2/3/2017).

Sekurang-kurangnya, ada tiga pendekatan membaca populisme: generalisasi empiris, penjelasan historis dan pembacaan simptomatik (F. Panizza, 2005:2). Dalam teks ini, saya memakai pendekatan terakhir.

Berbeda dari pendekatan generalisasi empiris dan historis, pendekatan simptomatik menekankan “people” (rakyat) sebagai political actor (aktor politik). Pendekatan ini memahami populisme sebagai “anti-status quo discourse” (diskursus anti-status quo).

Diskursus anti-status quo adalah sebuah diskursus yang menyederhanakan medan politik secara simbolik terbagi ke dalam dua kelas yang berhadap-hadapan: “the people” (rakyat tertindas, underdogs) dan the other (kelas elite demokrasi, penguasa/pemodal). Lugasnya, keduanya adalah konstruksi politik, bukan sekadar kategori sosial, yang secara simbolik terbangun dalam relasi antagonisme.

Antagonisme adalah mode of identification (modus identifikasi). Sebagaimana Mouffe (2015), antagonisme memainkan peran sentral dalam proses dekonstruksi dan rekonstruksi identitas. Berseberangan dengan pendapat bahwa politik dapat direduksi motivasi individu atau dikendalikan kepentingan diri, kaum populis sungguh sadar, politik terbentuk dari pertarungan simbolik “kita” versus “mereka”.

Antagonisme “kita” versus “mereka” tidak mengarah kepada legitimasi perang fisik. Antagonisme semata-mata merupakan modus identifikasi, di mana “lawan” bukan sesuatu yang dengan alasan tertentu harus dimusnahkan melainkan sebagai the absolute other dengannya seseorang mengenal identitas, kelemahan dan batas-batasnya.

Sebagaimana Laclau, pembentukan batas-batas politik antara kaum tertindas dan kaum berkuasa memerlukan bahwa partikularitas-partikularitas yang membentuk rakyat sebagai penanda menjadi elemen dalam jalinan kesetaraan/keadilan (Laclau, ibid). Artinya, antagonisme memperkuat demokrasi karena menuntut adanya fusi ekuivalensi pelbagai partikularitas dan identitas berbeda sehingga membuka kanal partisipasi lebih luas.

Dari perspektif simptomatik, dimensi anti-status quo adalah dimensi paling substansial populisme. Dimensi ini mengharuskan populisme sebagai a full constitution of popular identity mewujudkan penaklukan politik terhadap the other yang dianggap mengeksploitasi dan menghalangi kehadiran penuh rakyat dalam sistem politik.

The other, dalam oposisinya dengan the people, tereksplisitasi dalam term-term politik dan ekonomi atau kombinasi keduanya seperti oligarki, politisi, kelompok agama atau etnis dominan, plutokrasi, wakil rakyat, parlemen dan kelompok-kelompok lainnya. The other ini dipandang menghancurkan kesejahteraan rakyat.

Populisme karena itu adalah modus identifikasi yang bisa dipakai para aktor politik dalam ranah diskursif. Di dalamnya pemahaman akan kedaulatan rakyat dan akibat-akibatnya, konflik antara yang berkuasa dan yang tak berkekuasaan adalah elemen utama imajinasi politiknya.

Pemahaman tentang rakyat berdaulat sebagai aktor politik dalam relasi antagonistiknya dengan tatanan teratur (negara, parlemen, DPR) telah dijejaki banyak penulis. Menurut Edwar Shils, populisme mengandung dua prinsip utama: sebagai supremasi kehendak rakyat dan sebagai hubungan langsung antara rakyat dan pemerintahan (Panizza, ibid).

Canovan bersama Laclau dan Worsley memakai pendekatan Marxian dalam memahami populisme. Populisme adalah wujud pembentukan identitas popular (Canovan, ibid). Dalam masyarakat demokratik modern, dia dilihat sebagai perlawanan masyarakat marginal terhadap struktur kekuasaan represif, nilai dan ideologi dominan yang dipegang kelas elit atau the other (penguasa politik dan pemodal) dalam demokrasi.

Perspektif simptomatik ini serentak memperlihatkan krisis demokrasi sebagai radix (akar) kemunculan populisme. Populisme lahir sebagai kritik atas krisis sistem demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan gagal menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya (Otto G. Madung, Media Indonesia, 8/3/2018).

Selain krisis politik dan ekonomi, pemerintahan otoriter, kediktatoran militer dan pembaharuan institusi politik dapat menjadi akar kemunculan populisme. Di sini, populisme lebih dari sekadar respon terhadap kehancuran politik. Dia juga turut memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, bukan hirarki. Di situ, populisme berbeda dari fasisme (D.Albertazzi, 2008:3).

Berdasarkan pendekatan simptomatik itu, dapat disimpulkan, populisme adalah sebuah ideologi yang mengkonfrontasikan masyarakat luhur dan homogen melawan serangkaian elit demokrasi yang berbahaya dan yang coba merampok kedaulatan rakyat atas hak-hak, nilai-nilai, kemakmuran, identitas dan kebebasan mereka.

Populisme dan Demokrasi

“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Ungkapan yang dicetuskan Abraham Lincoln pada tahun 1863 ini sering dipahami sebagai substansi demokrasi. Ungkapan ini diakui baik oleh kaum demokrat maupun kelompok populis.

Dalam ungkapan itu, tersingkap hubungan intim demokrasi dan populisme, juga ketegangan antara keduanya. Hubungan itu terjadi manakala keduanya sama-sama berakar solid pada rakyat dan sama-sama menunjukkan kepentingan rakyat sebagai tujuan tertinggi.

Tentu saja, demokrasi seharusnya lebih luas daripada sekadar “kekuasaan atau kedaulatan rakyat”. Akan tetapi, yang jelas, di mana rakyat tak berkekuasaan, di situ bisa dipastikan demokrasi telah mati. Jika kedaulatan rakyat menentukan kualitas demokrasi, frase Lincoln tersebut dapat diinterpretasi secara populis dan menjadi medan diskursif populisme.

Tapi, siapa rakyat? Dan bagaimana masyarakat yang terfragmentasi menjadi “satu” di dalam gerakan populis?

Dari perspektif simptomatik, rakyat dalam populisme bukan demos yaitu warga negara, yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dengannya kedaulatan atau kebebasan dijalankan menurut batas-batas yang tersusun dalam suatu konstitusi. Rakyat juga bukan ethnos, mereka yang memiliki kesamaan darah, asal atau agama.

Dari perspektif simptomatik, pemahaman tentang populus dalam populisme didasarkan pada pandangan kelas. Rakyat adalah kelas marginal, yang bekerja dan berjuang untuk bertahan hidup, yang dirampok kelompok elite, perusahaan, serta organisasi dan partai yang berafilisasi dengan kaum kapitalis, terlepas dari hak dan kewajiban konstitusional, agama atau etnisnya apa (D. Albertazzi, ibid).

Sebagaimana pembacaan simptomatik di atas, kelas marginal ini berjuang merajut identitasnya dengan melawan kelas-kelas berkuasa secara simultan dan energik. Tapi pemberontakan ini sering terjadi melalui cara-cara irasional, brutal dan tak terkontrol. Di situ, populisme tak saja bertegangan dengan demokrasi, tapi juga berpotensi merusaknya.

Maka, rakyat dalam populisme berkarakter ganda: mulia sekaligus mengerikan. Di satu sisi mereka adalah kelompok yang memperjuangkan keadilan sosial. Di sisi lain, mereka juga gerombolan massa tak terdiferensiasi yang atas nama suara-suara populis melabrak prosedur-prosedur demokratis. Demikian populisme menjadi pengayom sekaligus hantu yang mengancam demokrasi.

Salah satu masalah serius yang turut menyebabkan populisme menjadi hantu demokrasi ialah antagonisme politik rentan disalahpahami sebagai formasi politik yang menuntut revolusi permanen. Di dalamnya penciptaan kembali identitas musuh seolah-olah merupakan kondisi mutlak tindakan politik.

Alhasil, populisme justru kontraproduktif. Di satu sisi, dia menghancurkan ilusi liberalisme tentang pluralisme tanpa antagonisme, tatanan sosial Hobbesian atau masyarakat tanpa kelas Marx. Di sisi lain, rakyat homogen atau massa tak terdiferensiasi dalam populisme itu sendiri juga merupakan sebuah ilusi, sama seperti masyarakat tanpa kelas Marx.

Dengan kata lain, bahaya populisme ialah perjuangan menentang bandit-bandit demokrasi sering terjadi melalui cara-cara irasional dan brutal seperti anti-pluralisme dan xenofobia picik. Sikap anti-pluralisme terungkap dalam keengganan berdebat secara rasional guna mencari solusi alternatif. Populisme berbahaya ketika perjuangan melawan ketidaksamaan sosial justru dilakukan dengan meniup politik identitas dan sentimen-sentimen picik anti-demokrasi sehingga rentan melahirkan ketidakadilan sosial baru.

Persis itulah yang terjadi di Indonesia hari ini. Di negara ini, tameng terakhir sesudah kehilangan status ekonomi, ngawurnya akar budaya, lagi suara politiknya tak didengar adalah etnis dan agama. Maka, perlawanan terhadap hegemoni politik global, neo-liberalisme dan kebuasan kapitalisme nyaris mistik. Kita menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya.

Alhasil, sebagaimana Rocky Gerung, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu neolib, hegemoni Barat atau kapitalisme merupakan refleks post-kolonial yang dangkal ketimbang hasil analisis intelektual yang dalam. Dengan demikian, perlawanan terhadap struktur-struktur politik dan ekonomi yang tak adil mudah disulap menjadi perkakas merebut kekuasaan. Hal itu kita saksikan dalam maraknya fenomena kebangkitan populisme kanan (mobilisasi massa dengan sentimen agama/etnis) dewasa ini di Indonesia.

Sebagaimana Otto Gusti, populisme sesungguhnya dapat menjadi kekuatan transformatif di Indonesia kalau dia benar-benar menjadi antagonisme kekuasaan oligarki yang kian menguat. Populisme gagal menjadi kekuatan antagonis dan emansipatoris karena dia turut melanggengkan kekuasaan oligarki (Otto G. Madung, ibid).

Lugasnya, di Indonesia, populisme kiri yang berperan merumuskan suara-suara warga yang tak terakomodasi dan antagonisme terhadap ketidakdilan sistem politik-ekonomi tidak pernah eksis. Yang eksis malah populisme kanan yang mudah diperalat para monster oligarki untuk merebut kekuasaan lewat pembengkakan sentimen-sentimen etnis dan agama.

Dengan kata lain, bahaya kita di Indonesia ialah populisme muncul bukan sebagai the spectre of the sceptre melainkan kekuatan yang menyokong para monster oligarki makin berkuasa. Gagal menjadi anti-status quo, populisme di Indonesia malah membentuk identitas final entah agama atau etnis yang mematikan energi antagonisme dalam demokrasi sehingga ikut melanggengkan kekuasaan elit-elit korup, feodal dan eksploitatif.

Di sini, awasan Laclau amat tepat. Menurutnya, karena sangatlah mustahil menghapus jejak-jejak yang partikular dari yang universal, setiap proses identifikasi (termasuk dalam populisme) selalu gagal memproduksi sebuah identitas utuh dan padat (Laclau, ibid).

Dengan kata lain, dalam setiap proses identifikasi, identitas tak pernah “jadi” tapi selalu “men-jadi”. Proses identifikasi sejatinya hanya membangkitkan dialektika aspirasi, ketidakpuasan dan ruang kosong. Di dalamnya antagonisme sebagai dialektika tanpa henti deidentifikasi dan reidentifikasi menjadi mungkin.

Dengan demikian, proses identifikasi dalam populisme mendukung demokrasi kalau tidak berhasrat membentuk suatu identitas final, melainkan identitas yang berlangsung dalam dialektika tanpa akhir. Di atas Mouffe menyebutnya sebagai dialektika antara dekonstruksi dan rekonstruksi identitas.

Saya berkeyakinan, jika populisme berhasil menjadi kekuatan antagonis bagi varian pembusukan ruang publik dan politik oleh the other hari ini, niscaya populisme menyokong perwujudan cita-cita demokrasi itu sendiri. Di situ, populisme menjadi “the internal periphery of democracy”. Artinya populisme menjadi bagian internal demokrasi yang bergerak pada lingkaran pinggir yaitu the people, dengan melawan dan mengontrol secara konstan elit-elit yang berkuasa, the other, di pusat sistem demokrasi.

Di situ, alih-alih sebagai hantu demokrasi, populisme justru mengingatkan kita akan “hantu totalitarian” sebenarnya yang sedang mengancam demokrasi hari ini yaitu para oligark yang korup-eksplotatif. Dia juga mengingatkan kita bahwa semua masyarakat demokratis modern adalah kompromi antara logika demokratis dan non-demokratis, dan bahwa kontrol terhadap praktik demokrasi liberal secara simultan menjamin serentak membatasi kehendak populis.

Di dalam masyarakat global modern, populisme tidak saja membangunkan pertanyaan tentang siapa yang pantas mengisi ruang kosong kekuasaan. Populisme juga mempertanyakan mereka yang meletakkan politik di bawah alasan-alasan teknokratis dan kediktatoran pasar atau neo-liberalisme.

Dengan menampilkan wajah beradab serentak sangar, mulia serentak buruk, populisme bukanlah bentuk tertinggi demokrasi serentak bukan seekor hantu yang sedang mengancam demokrasi. Berhadapan wajah ganda itu, akan lebih bijaksana kalau dia dipandang sebagai cermin demokrasi.

Sebagai cermin, populisme adalah tempat demokrasi menatap dirinya, wajahnya yang kutil dan retak, batas-batas dan kelemahannya. Kalaupun populisme masih disebut hantu demokrasi, hantu ini seharusnya adalah hantu yang “beradab”, hantu sebagai legitimate enemy (musuh yang sahih) dalam versi filsuf politik Carl Schmitt.

Sebagai legitimate enemy, seekor hantu bernama populisme itu tetap mempunyai tempat dalam demokrasi. Sekurang-kurangnya, dia adalah advocatus diaboli, setan pengganggu yang kritis, yang selalu mengingatkan demokrasi akan krisis, kelemahan dan batas-batasnya.***

Peter Than. 23 Mar 2018
Sumber: qureta.com
Gambar: qureta.com