Di dalam usaha-usaha membina sistem eonomi yang khas bagi Indonesia, kiranya, sebaiknya kita berpegang pada pokok-pokok fikiran sebagaimana tercantum dalam Pancasila, khususnya dokumen “Lahirnya Pancasila” dan UUD 45, khususnya pasal-pasal 23, 27, 33 dan 34.
Dari Pancasila adalah sila “Keadilan Sosial” yang paling relevan untuk ekonomi. Sila ini mengandung dua makna, yakni sebagai prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi.
Ditempatkan dalam persepketif sejarah maka hasrat ingin mengejar pembagian pendapatan yang adil mudah difahami. Pembagian pendapatan di masa penjajahan adalah sangat tidak adil. Kurang daripada 3% dari jumlah penduduk [yang terutama adalah bangsa asing] menerima lebih dari 25% dari pendapatan nasional Indonesia. Karenanya, maka pola pembagian pendapatan serupa ini perlu dirombak secara drastis.
Akan tetapi yang dikejar bukan saja “masyarakat yang adil dalam pembagian pendapatannya” tapi juga “masyarakat yang makmur”. Ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan dari pendapatan nasional harus juga meningkat.
Di masa penjajahan, pertumbuhan eonomi berlangsung berdasarkan free fight competition liberalism. Dalam pertarungan kompetisi ekonomi serupa ini, bangsa Indonesia tertinggal oleh karena tidak memiliki alat-alat produksi yang compatible. Maka sistem ekonomi liberal serupa ini menambahkan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan, karena yang ekonomi kuat, semakin kuat, sedangkan yang lemah ketinggalan.
Guna menghindari pengalaman pahit serupa inilah, sila “Keadilan Sosial” menekankan perlunya: demokrasi ekonomi. Hakekatnya adalah suatu medezeggenschap di dalam unit ekonomi [pabrik, perusahaan, ekonomi negara dan lain-lain].
Prinsip demokrasi ekonomi ini terjelma dalam UUD 45 pasal 23, 27, 33 dan 34. Di dalam pasal 23 yang menonjol adalah hak budget DPR-GR. Ini berarti bahwa pemerintah boleh menginginkan rupa-rupa hal, rencana dan proyek, akan tetapi pada instansi terakhir adalah rakyat sendiri yang memutuskan apakah rencana atau proyek bakal dilaksanakan, oleh karena hak-budget, hal menetapkan sumber penerimaan negara [pajak] dan macam-macam serta harga mata uang berada di tangan DPR-GR.
Inilah prinsip medezeggenschap atau demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi pancails kita. Dan untuk mencek kemudian apakah pemerintah tidak menyimpang dari kehendak DPR-GR, maka DPR-GR dapat menggunakan pemeriksaan melalui Badan Pemeriksaan Keuangan.
Tentu semuanya ini di dalam iklim kehidupan kenegaraan di mana rechtszekerheid terjamin. Oleh karena itu, pasal 27 mewajibkan semua kita [baik penguasa tertinggi maupun warga negara biasa] menjunjung Hukum.
Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokasi-ekonomi maka tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak [pasal 27]. Hak atas pekerjaan tidaklah melulu privilege suatu kliek atau golongan tertentu. Semua berhak memperoleh equal opportunity.
Akan tetapi manakala ia jatuh terlantar menjadi fakir miskin, maka naluri kemanusiaan kita, sesuai jiwa Pancasila, menugaskan kepada negara untuk memelihara mereka yang terlantar itu [pasal 34].
Prinsip demokrasi ekonomi juga menjelma dalam pasal 33 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluaragaan”. Di sini [dalam pengjelasan tentang UUD] menonjol tekanan pada “masyarakat”: “Produksi dikerjakan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-nggota masyarakat.”
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. “Masyarakat” tidak sama dengan “negara”. Sehingga jelaslah bahwa sistem ekonomi Pancasila tidak saja menolak free fight liberalism akan tetapi juga etatisme [ekonomi komando], di mana negara beserta aparatur ekonomi negara berdomisili penuh dan mematikan inisiatif masyarakat.
Tetapi ini tidak berarti bahwa negara lalu berpangku-tangan. Pasal 33 juga menekankan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Sedangkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dikuasai negara untuk digunakan bagi kemakmuran rakyat.
Jadi negara menguasai sektor-sektor yang strategis. Maka dapatlah sistem ekonomi pancasila ini diumpamakan seperti lalu-lintas di Jakarta. Masing-masing anggota masyarakat bebas berjalan di jalan-jalan. Akan tetapi dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban untuk mengutamakan kepentingan umum.
Kita tak bisa sesuka hati tancap gas dan membahayakan lalu-lintas. Karena itu maka peraturan lalu-lintas harus dipatuhi. Untuk mengatur kelancaran lalu lintas, polisi lalu lintas menguasai tempat-tempat strategis, seperti simpang empat, lima dan sebagainya. Polisi lalu lintas tidak menguasai semua jalan, paling-paling sewaktu ia mencek dan mengontrol. Jalan yang kita pijak, hawa yang kita hirup, sungguh pun kita jalani, adalah bukan milik individu, tetapi milik negara.
Maka begitulah secara sederhana sistem ekonomi Pancasila. Ia tidak ketat seperti sistem ekonomi etatisme ala Uni Sovyet, tidak pula liberal ala Amerika Serikat. Ia adalah kebebasan dengan tanggungjawab, keteraturan tanpa mematikan inisiatif rakyat, mengejar masyarakat yang adil dan makmur atas landasan demokrasi ekonomi.
oleh Emil Salim.
Kompas, 30 Juni 1966
Foto: greeners.co